Saling Berbagi Ilmu Pengetahuan


Selasa, 14 Mei 2013

MENENGOK LEGALISASI PERILAKU MENYIMPANG di PRANCIS


Institusi keluarga sebagai tempat yang aman bagi anggotanya kini mulai mengalami keruntuhan di Barat akibat sistem materialisme yang dianut. Kebejatan dan perbuatan amoral serta hubungan seksual paling hina seperti hubungan sesama jenis dicitrakan sebagai sesuatu hal yang wajar serta gencar dikampanyekan melalui sinema dan teater. Dengan demikian nilai-nilai kemanusiaan telah dilupakan sama sekali.

Di Perancis, meski rakyat menentang keras, draf undang-undang yang membolehkan perkawinan sesama jenis tetap lolos ke parlemen dan diratifikasi oleh anggota Senat. Senat Perancis dengan 179 suara mendukung dan 157 menolak meratifikasi perkawinan sesama jenis. Dengan mensahkan UU perkawinan ini, Perancis bergabung dengan 11 negara yang membebaskan perkawinan sesama jenis. Belgia, Portugal, Belanda, Spanyol, Swedia, Norwegia dan Afrika Selatan telah terlebih dahulu membolehkan warganya melakukan perkawinan sesama jenis.

Perkawinan sesama jenis termasuk janji-janji Francois Hollande dan Partai Sosialis di kampanye pemilu presiden. Sementara di media massa, isu perkawinan sesama jenis dinilai sebagai reformasi sosial terpenting di Perancis sejak tahun 1981. Tahun 1981, undang-undang hukuman mati dihapus. Draf perkawinan sesama jenis sejak awal baik di tingkat elit politik maupun media menuai penentangan luas. Kubu anti UU tak bermoral ini menggelar berbagai aksi demonstrasi besar-besaran di sejumlah wilayah Perancis.

Di salah satu dari aksi demo ini tercatat 800 ribu warga di Paris turun ke jalan-jalan menyuarakan penentangannya atas draf yang diajukan pemerintah untuk melegalkan perkawinan sesama jenis. Tak hanya itu, untuk menunjukkan penolakan luas warga, kubu anti perkawinan sesama jenis mengusulkan untuk digelar referendum bagi draf perkawinan tersebut. Namun sayangnya usulan mereka ditolak mentah-mentah oleh pemerintah Paris. Karena hasil dari referendum ini telah dapat diprediksikan dan bakal menutup jalan untuk melegalkan perkawinan sesama jenis di negara ini.

Maraknya perkawinan sesama jenis di masyarakat Barat dan upaya untuk menyebarkannya di masyarakat negara lain, khususnya masyarakat Timur harus dikaji dalam arus dekadensi moral di Barat. Ketika Liberalisme yang berasaskan humanisme dan darwinisme berkuasa di Barat serta ketika moral dinilai sebagai hal yang relatif dan privasi maka saat itulah proses kemunduran moral di Barat terjadi. Legalitas terhadap perilaku amoral sesama jenis merupakan salah satu indikasi paling nyata dari dekadensi moral dan kemanusiaan di Barat. Kondisi ini ditambah dengan maraknya kecenderungan telanjang perempuan serta meluasnya hubungan gelap dan menjamurnya sekte-sekte setan di Barat.

Bagaimanapun juga jika kita pandang perilaku amoral sesama jenis dari berbagai sisi, maka perilaku menyimpang tersebut tidak dapat disebut sebagai perilaku wajar. Kecenderungan sesama jenis baik dalam pandangan agama Ilahi, fitrah atau bahkan anatomi tubuh manusia tidak dapat disebut sebagai perilaku biasa. Oleh karena itu, meluasnya perilaku seperti ini akan berdampak negatif bagi setiap masyarakat, salah satunya adalah runtuhnya sendi-sendi institusi keluarga.

Jika kita perhatikan lebih teliti, pemerintah Barat tengah melakukan upaya paling aneh di bidang budaya. Mereka berusaha keras membudayakan dan memperluas perkawinan sesama jenis baik di tengah masyarakatnya sendiri atau bangsa lain. Salah satu kasus ini dapat ditemukan pada upaya serius pemerintah Barat membudayakan perkawinan sesama jenis.

Meski jika kita terima dan mengukur dari sisi hak asasi manusia, dukungan pemerintah Barat terhadap individu yang memiliki kecenderungan sesama jenis sebagai orang yang mengalami gangguan dan kehilangan keseimbangan serta membutuhkan bantuan dan pengobatan psikologis, namun masih saja tidak ada kesesuaian antara besarnya kampanye, dukungan finansial, politik dan sosial terhadap orang-orang menyimpang ini dan jumlah mereka di berbagai masyarakat dunia.

Contohnya, 1,5 persen warga Inggris memiliki kecenderungan sesama jenis dan berperilaku menyimpang. Besarnya dukungan dan desakan untuk memberi pelayanan serta pengakuan terhadap kelompok yang sangat kecil ini tidak sesuai dengan jumlah mereka atau pengaruhnya terhadap proses politik dan sosial di sebuah negara. Di sinilah muncul pertanyaan, mengapa Barat berusaha keras menyebarkan kecenderungan amoral dan menyimpang dari fitrah manusia ini yang ditolak oleh seluruh agama Ilahi?

Mengapa dewasa ini, program kerja politik, sosial dan budaya pemerintah Barat dialokasikan untuk menyebarkan homoseksual dan perilaku menyimpang di tengah masyarakatnya atau bangsa lain di seluruh dunia? Keuntungan apa yang bakal diraih oleh pemerintah Barat dari perilaku menyimpang seseorang sehingga mereka bersikeras untuk mendukung kelompok kecil ini serta berusaha menyebarkan perilaku tersebut ke seluruh dunia?

Jika besarnya upaya Barat menyebarkan perilaku homoseksual atau lesbi ke penjuru dunia didorong oleh sisi kemanusiaan dan hak asasi manusia (HAM), mengapa orang-orang menyimpang ini tidak dipandang sebagai individu yang membutuhkan bantuan dan pengobatan mengingat mereka ini dari sisi psikologis, sosiologis dan fisiologis merupakan manusia yang keluar dari keseimbangan dan manusia yang wajar sehingga mereka tidak terjerumus lebih dalam lagi dalam perilaku menyimpang?

Meski homoseksual dalam pandangan ilmiah merupakan bentuk penyimpangan seksual, berbagai propaganda Barat berusaha menampilkan fenomena ini sebagai sebuah genetik keliru dan suatu kebetulan. Upaya ini muncul dari harapan mereka bahwa jika perilaku menyimpang ini diterima sebagai bagian dari genetik bawaan seseorang maka tidak ada ruang lagi untuk menyoal pribadi seperti ini, karena masalah genetik di luar kehendak seseorang. Menurut propaganda Barat, mereka yang memiliki kecenderungan seksual menyimpang terkena kecenderungan tersebut tanpa memiliki hak pilih. Dengan demikian jalan untuk protes atau menolak tertutup.

Sementara itu, riset ilmiah tidak mendukung pendapat Barat tersebut, bahkan hasil penelitian malah membuktikan sebaliknya dari apa yang disebarkan oleh media Barat. Upaya untuk mengubah definisi manusia di institusi keluarga merupakan penghinaan para elit politik Barat terhadap institusi ini. Dalam sejarah umat manusia, definisi paling nyata dari institusi keluarga adalah perkawinan antara pria dan wanita untuk menyambung keturunan dan membesarkan serta mendidik anak-anak.

Pemerintah sekular Barat berusaha merusak definisi baku dari institusi keluarga ini serta berupaya menyuguhkan definisi baru yang anti kemanusiaan bagi lembaga keluarga. Penghapusan nama ayah dan ibu di paspor warga Amerika dan Inggris merupakan contoh nyata dari upaya Barat tersebut dan digantikan dengan orang tua pertama serta orang tua kedua. Sejumlah pemerintah Barat mendesak panti asuhan untuk mengijinkan pasangan sesama jenis mengadopsi anak. UU perkawinan sesama jenis juga meminta Gereja bersedia menggelar upacara pernikahan sesama jenis sesuai dengan tuntutan agama. Permintaan seperti ini cukup menggelikan, padahal agama samawi menolak perkawinan sesama jenis.

Baik Kristen, Yahudi maupun Islam memandang perilaku seksual menyimpang sebagai dosa besar. Gereja Katolik berulang kali menyatakan penolakannya terhadap legalitas perkawinan sesama jenis di masyarakat Barat dan menyebutnya sebagai ancaman besar bagi institusi keluarga. Namun sangat disayangkan dalam beberapa tahun terakhir, Gereja Katolik menunjukkan sikap pasif terhadap legalitas perkawinan sesama jenis. Praktisnya Gereja Katolik tidak mampu mencegah proses legalitas perkawinan sesama jenis dan amoral di masyarakat Barat.

Definisi baru keluarga, nilai-nilai kemanusiaan dan moral yang disebarkan pemerintah sekular Barat di masyarakatnya menilai hubungan seksual yang legal melalui perkawinan dan pembentukan keluarga sebagai hal yang tidak berarti. Di sistem material Barat, institusi keluarga yang selama ini menjadi tempat paling aman bagi seluruh anggotanya mulai terkikis.

Anak-anak mulai tidak mendapat kasih sayang dari ayah dan ibu mereka, orang-orang lanjut usia (manula) harus merasakan penderitaan di akhir usianya karena jauh dari keluarga dan kerabat. Perilaku menyimpang di Barat seperti homoseksual dan lesbi marak disebar. Para insan sinema dan perfileman Barat pun berlomba-lomba menyebarkan perilaku paling hina ini ke seluruh masyarakat dunia melalui karya-karya film lebar mereka atau melalui teater.

Di kondisi seperti ini, nilai-nilai kemanusiaan yang merupakan fitrah manusia dikikis habis dan dilupakan. Mereka mulai melupakan bahwa institusi keluarga bukan hanya tempat melampiaskan kebutuhan biologis antara suami dan istri, namun lebih dari itu, keluarga merupakan sarana untuk mengungkap kasih sayang di antara anggotanya dan tempat paling ideal mendidik anak-anak.

source

Tidak ada komentar:

Posting Komentar